English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Punishing or Shaming

Such dilemma between guilt and shameful has been an interesting topic in the field of social psychology since few times ago. That dilemma persists when discussing social control, self-control, individual moral values, moral standard, cross-cultural influence as well as education-related setting. It is predicted, the one which is more influential, whether guilt aspect or shameful aspect, will one way or another influence the way somebody’s behavior can be modified.

This study investigates such tendency which prevails in public schools especially performed by pupils when treating their student’s misconduct. Research question forwarded is whether they exploit punishment or to create shaming feeling towards students who have made nuisances in school.

The result shows method of punishment has been the only way of modifying behavior which is regarded deviant. Other finding, it is believed that, having given such punishment, shameful feeling will follow. This finding is in association with the character of Indonesian society toward the way guilt and shamefull operate.

Senang mengerjakan pekerjaan yang bersifat darurat atau genting dan bukan pekerjaan yang penting

Kita harus dapat membedakan pekerjaan darurat atau genting dan pekerjaan penting. Suatu pekerjaan tergolong darurat atau genting bila ia terkait dengan waktu. Artinya pekerjaan itu harus segera dikerjakan.

Menjawab telpon yang berdering merupakan pekerjaan genting karena harus segera dikerjakan. Banyak pekerjaan genting lainnya yang mengatur kegiatan kita. Ia seakan-akan menjadi penentu segala yang harus kita kerjakan.

Di lain pihak, suatu pekerjaan dikatakan penting bila terkait dengan hasil. Dengan kata lain, suatu pekerjaan tergolong penting bila pekerjaan itu menunjang misi, nilai dan prioritas yang telah ditetapkan.

Berbicara tentang penting dan genting, dalam kaitan ini, Stephen R Covey, penulis buku laris yang berjudul “Tujuh Kebiasaan Hidup Manusia yang Efektif”, menjelaskan bahwa sesungguhnya ada empat hal yang perlu dicermati, yaitu (1) Penting dan Genting, (2) Penting dan Tidak Genting, (3) Genting dan Tidak Penting, serta (4) Tidak Penting dan Tidak Genting. Empat hal ini digambarkan dalam empat kuadran/kotak di bawah ini.

Peter Drucker mengatakan bahwa orang efektif bukanlah orang yang pikirannya tertuju pada masalah akan tetapi tertuju pada peluang. Mereka berfikir preventif. Mereka juga menghadapi masalah dan krisis tetapi jumlahnya dapat ditekan sekecil  mungkin.

Setelah mengerti bedanya penting dan genting maka sekarang mulailah menentukan target yang hanya diarahkan pada hal-hal yang penting dan mengurangi yang genting.

Tidak mengerti arti dan fungsi target

Sesungguhnya suatu target mampu menghasilkan tenaga atau daya dorong untuk mencapai sukses. Dan sesungguhnya tenaga dan daya dorong ini dimiliki oleh setiap insan manusia namun sebagian besar kita tidak sadar dan bahkan tidak percaya dengan hal itu. Oleh karena itu yang pertama perlu disadarkan untuk ditumbuhkembangkan dalam diri kita adalah bahwa kita punya tenaga atau daya dorong atau daya juang dalam diri kita masing-masing. Bagaimana caranya?

Dalam hal ini sering terjadi ‘salah kaprah’, banyak di antara kita percaya bahwa tenaga dan daya juang itu perlu ditumbuh-kembangkan terlebih dulu sebelum ditetapkannya target atau tujuan. Ini perlu diluruskan. Ternyata yang benar adalah bahwa target atau tujuan itu justru mampu membangkitkan tenaga dan daya juang. Oleh karena itu, tentukan dan tulislah target dan tujuan hidup dengan jelas agar ia mampu membangkitkan daya juang yang sudah ktia miliki sejak dari lahir.

Khawatir dan takut gagal dalam menetukan target atau tujuan

Ada dua ketakutan yang mungkin terjadi terkait dengan perlunya menentukan target atau tujuan, yaitu:

Pertama orang takut menentukan target atau tujuan karena bila gagal maka apa yang dikhawatirkan tentang diri orang tersebut akan menjadi kenyataan. Di samping itu, orang takut menentukan target karena bila gagal maka semua keluarga dan teman-teman akan melihat bahwa orang itu memang tergolong orang gagal. Orang seperti ini akan berkata, “Mengapa mesti repot menulis dan menentukan target yang nantinya akan benar-benar merepotkan diri sendiri” “Emang Gua Pikirin” Nah, orang seperti ini sangat mungkin akan mengalami kegagalan.

Kedua, orang takut menentukan target karena mereka justru takut akan keberhasilan. Mereka khawatir dan takut bila nanti  menjadi orang sukses maka kesulitan akan datang, seperti misalnya sulit mengelola sukses, khawatir gaya hidupnya akan berubah. Orang-orang seperti ini bisa disebut sebagai orang GR (Gede Rasa) dan pada dasarnya sama saja dengan orang yang takut gagal.

Tidak dapat membedakan antara keinginan atau harapan dengan target atau tujuan

Bila saya bertanya kepada sekelompok siswa tentang keinginan mereka dalam kurun waktu dua atau tiga tahun mendatang tentu mereka akan kompak menjawab bahwa mereka ingin lulus sekolah dengan nilai baik atau terbaik. Bila saya bertanya kepada orang tua mereka tentang keinginan mereka terhadap anak-anak mereka, tentu jawabannya juga kompak bahwa mereka ingin anak-anaknya lulus dengan nilai yang baik atau terbaik..

Demikian pula tiap kali menjelang pergantian tahun kita ditanya, “Apa harapan kamu  di tahun depan?,  maka hampir semua akan menjawab, “Saya berharap agar kehidupan di tahun depan lebih baik dan  murah rezki”. Bagi yang belum menemukan jodoh dan pasangan hidup akan menjawab, “Saya berharap agar segera mendapatkan jodoh dan pasangan hidup saya”.

Keinginan dan harapan akan tetap menjadi keinginan dan harapan. Ia tidak akan memberi hasil nyata kecuali diubah menjadi tujuan atau target. Kalau begitu apa yang membedakan keinginan atau harapan dengan tujuan atau target dan bagaimana mengubah keinginan menjadi tujuan atau target?

Keinginan dan harapan adalah sesuatu yang indah untuk dipikirkan dan enak untuk dibicarakan. Keinginan dan harapan belum mengusik hati untuk bertindak melakukan suatu. Dengan kata lain, keinginan dan harapan adalah wacana yang apabila si pemilik wacana itu tidak atau belum melakukan tindakan maka ia tidak merasa terganggu.

Sementara itu, tujuan atau target merupakan keinginan dan harapan yang disertai dengan perasaan tidak nyaman bila tidak segera merancang tindakan nyata untuk mencapainya. Jadi Target atau tujuan sifatnya lebih kongkrit dari pada keinginan atau harapan karena disertai dengan strategi dan tindakan nyata untuk mencapainya. Indikator atau penentu yang membedakan keinginan atau harapan dengan tujuan atau target adalah timbulnya perasaan tidak nyaman bila tidak segera mengambil tindakan.

Suatu keinginan dapat diubah menjadi tujuan atau target dengan cara menuliskannya dengan jelas dan disertai dengan rencana tindakan untuk mencapainya. Berdasarkan rencana tindakan tersebut lalu dilakukan kegiatan untuk mencapai target tersebut. Bila rencana tidak segera dilaksanakan maka terusik dan tidak nyamanlah hati dan perasaan kita.

Tidak dapat membedakan antara kegiatan dan hasil

Banyak di antara kita yang sependapat bahwa kita harus bekerja keras dan terus bekerja keras. Oleh karena itu maka kita lalu bekerja keras akan tetapi apa hasilnya? Ternyata hasilnya tidak sama dengan apa yang diinginkan. Mau tahu jawabnya mengapa? Ya, ternyata bekerja keras (work hard) itu perlu akan tetapi belum cukup. Ada satu hal yang juga penting dilakukan, yaitu bekerja dengan pintar atau pintar bekerja (work smart). Lalu apa bedanya kerja keras dan kerja pintar?

Kerja keras pada umumnya lebih mengandalkan otot, fisik dan kemauan sedangkan kerja pintar melibatkan otak. Kerja keras biasanya kerja yang sekedar memenuhi tugas tanpa melibatkan kreativitas yang terkait dengan cara menyelesaikan tugas. Unsur kreativitas bagaimana cara menyelesaikan tugas dengan lebih cepat, lebih efisien dan efektif tanpa mengurangi mutu pekerjaan menjadi pembeda antara kerja keras dan kerja pintar.

Pernah seorang peneliti dan ahli serangga mengadakan percobaan. Dia letakkan seekor ulat di ujung pot bunga dan di dalam pot itu, tepat di bagian tengah, diletakkan daun segar yang menjadi kesukaan ulat tersebut. Kemudian setelah Si ulat mencium segarnya daun kesukaannya lalu ia bergerak merayapi dan memutar sisi pot bunga itu dari ujung ke ujung lainnya. Ulat itu terus merayap memutari ujung bibir pot bunga selama 7 hari 7 malam lamanya. Dia ingin benar mendapatkan daun makanannya itu tapi ia tidak berhasil lalu satu minggu kemudian si Ulat mati kelaparan.

Percobaan ini menjelaskan bahwa si Ulat telah bekerja keras tapi tidak mendapatkan hasil. Dengan kata lain, dia tidak dapat membedakan kegiatan dan hasil yang ingin dicapai. Dia tidak menetapkan tujuan yang ingin dicapai, dia hanya bekerja dan bekerja keras. Oleh karena itu, penetapan target dan tujuan penting agar kita dapat membedakan mana kegiatan (kerja keras) dan mana tujuan atau hasil yang akan dicapai.

Tidak percaya bahwa penetapan target dan tujuan akan mempermudah penetapan hasil

Bagi pemeluk agama Islam sesungguhnya telah ada contoh ajaran Rasul Muhammad, SAW. Beliau bersabda, “Sesungguhnya semua (hasil) perbuatan itu ditentukan oleh niat awalnya”. Dr. William James, perintis dan ahli ilmu psikologi Amerika,  menyatakan bahwa kepercayaan yang dibangun sejak awal mula suatu pekerjaan akan menentukan pencapaian hasil.

Jika kamu tidak percaya pada niat awal atau dengan kata lain niatnya tidak kuat sejak dari awal pekerjaan maka biasanya gerakan dan usaha merintis sukses juga tidak penuh atau setengah-setengah. Dengan demikian, tidak heran jika hasil yang dicapai juga tidak maksimal atau bahkan malah tidak pernah mencapai hasil sama sekali alias gagal. Oleh karena itu, kuatkan niat dan tetapkan target dan tujuan sebelum memulai pekerjaan. Setelah itu, dan ini penting, percayalah bahwa niat dan target yang ditetapkan tersebut akan mempermudah pencapaian hasil.

Kekecewan

Kekecewaan merupakan reaksi atas ketidaksesuaian antara harapan, keinginan dengan kenyataan. Rasa kecewa bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari hal-hal yang kelihatannya sangat biasa, menjadi besar dan akhirnya menyiksa perasaan. Faktor penyebab utama timbulnya kekecewaan ialah karena target yang kita tentukan terhadap sesuatu atau seseorang tidak terpenuhi, sehingga seringkali kita ingin menyalahkan sesuatu atau menghakimi orang lain.

Sejatinya, hidup itu selalu bersinggungan dengan masalah, ketidaksesuaian dan kekecewaan juga merupakan masalah. Ketika kita berharap kepada apa pun dan siapa pun, bersiaplah untuk kecewa karena kemungkinan harapan tidak sesuai kenyataan itu selalu ada dan setiap orang pasti pernah mengalami kekecewaan.

Melampiaskan rasa kecewa, semua orang pasti bisa melakukannya. Namun, mengatasi, mengantisipasi dan menyikapi rasa kecewa,  siapkah kita?

Kesiapan kita menghadapi kemungkinan gagal merupakan salah satu indikasi kesiapan kita menghadapi kekecewaan. Tapi jika kita terlanjur dikecewakan ada beberapa hal yang patut kita renungi, kita resapi dengan kejujuran hati dan kita lepaskan dengan keikhlasan. Sekecil apa pun, seberat apa pun, kecewa itu harus diatasi, disembuhkan dan dihilangkan karena itu akan menjadi ganjalan perasaan yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik juga psikis kita. Kekcewaan yang tersimpan, mendalam dan terpendam dapat menumbuhkan dendam dan penyakit kronik (Naudzubillah min dzaalik). Karena itu, kematangan spiritualitas, kecerdasan emosi, serta keterbukaan pikiran diperlukan untuk mengelola rasa kecewa.

Menghukum Atau Mempermalukan

Dilema antara guilt (rasa bersalah) dan shameful (rasa malu) sudah lama menjadi topik menarik di bidang psikologi sosial. Dilema tersebut antara lain muncul dalam pembahasan mengenai kontrol sosial, perilaku sendiri, nilai moral individual, tingkat standar moral, pengaruh lintas budaya serta dalam situasi pendidikan. Diperkirakan pula, salahsatu yang lebih berperanan, entah itu aspek guilt atau aspek shameful, akan mempengaruhi pada cara bagaimana memodifikasi perilaku seseorang.

Studi ini menelaah mengenai kecenderungan di sekolah-sekolah menengah umum dalam memodifikasi perilaku siswa yang telah menampilkan perilaku atau tindakan yang dianggap sebagai salah, jahat, tidak tertib atau menyimpang dari norma sosial yang ada. Apakah kalangan guru di sekolah-sekolah tersebut menampilkan kecenderungan mengeksploitasi penghukuman (punishment) atau melakukan tindakan penciptaan rasa malu (shaming) siswa dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan siswa tersebut?

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa metode penghukuman ternyata merupakan satu-satunya cara memodifikasi perilaku yang diterapkan. Dan, temuan lain, diyakini bahwa dengan diberikan hukuman itulah lalu kemudian muncul rasa malu. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan karakter masyarakat Indonesia perihal beroperasinya guilt dan shameful.